Pilkada Bersih Harapan Masyarakat Menuju Keadilan Dan Kesejahteraan
OPINI : Agus Kuprit
PILKADA 2018 sudah menjadi perbincangan hangat di Kabupaten Bojonegoro, Masyarakat suka atau tidak suka sudah mengukur para kandidat yang akan bertarung di pesta demokrasi mendatang.
HAJATAN pemilihan pemimpin baru di Kabupaten Bojonegork yang dikemas dalam pesta lima tahun ini, sudah diawali dari pencitraan kandidat kepada masyarakat, mengumpulkan dukungan berupa foto kopi KTP bagi calon yang menempuh jalur perseorangan.
Begitu juga kandidat yang maju diusung oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol. Tak sedikit pula dari mereka (kandidat) yang sudah setengah perjalanan berjuang untuk mendapatkan tiket pencalonan harus tersingkir karena sulitnya untuk mendapatkan kendaraan politik.
Jerih payah para kandidat mendapatkan perahu politik menuju panggung demokrasi, sudah tidak terhitung dari ongkos politik.
Bayangkan saja, mendapatkan dukungan kursi yang dimiliki parpol di lembaga legislatif tentu tidak hanya dengan modal lobi politik. Juga bukan menjadi rahasia lagi, kandidat yang ingin mendapatkan dukungan untuk diusung oleh parpol, harus membayar mahar ibarat proses melamar dalam sebuah perkawinan.
Kabupaten Bojonegork yang akan melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru patut berbangga, dan memang tidak salah jika uforia masyarakat untuk menyambut datangnya pemilihan umum.
Terlepas siapa yang meraih kursi terbanyak dan dukungan parpol apa saja yang mengusung kandidat, masyarakat mestinya berpikir jernih apakah pesta demokrasi yang selama ini masuk dalam kategori demokratis dan berkualitas.
Mungkin hanya sebagian kecil masyarakat yang berpikir seperti itu, serta membayangkan apakah pilkada nantinya berkualitas. Dalam hal ini kualitas calon pemimpin, maupun jalannya pesta demokrasi berjalan dengan jujur dan adil.
Jawabannya memang belum ada. Lantas, bagaimana agar pilkada bisa berkualitas? Kecurangan saat pemilihan kepala daerah memang tidak gampang untuk dibuktikan. Pihak penyelanggara dalam hal ini Badan pengawas pemilu (Bawaslu) hanya bisa menekan dengan melakukan pencegahan.
Tapi pencegahan itu hanya bersifat sementara. Pelaku politik “kotor” tetap akan memainkan perannya demi mencapai tujuan sehingga segala cara dihalalkan untuk memenangkan pertarungan. Sehingga, menemukan jejak pilkada berkualitas masih jauh dari harapan.
Menghilangkan kecurangan dalam pemilu, memang susah. Sebab, pilkada merupakan proses politik yang dinamis. Semua kandidat punya peluang dalam melakukan kecurangan, apalagi jika mendapat kesempatan.
Lantas, apakah KPUD dan Bawaslu merupakan pihak penyelanggara yang bisa dikatakan lembaga yang bersih dalam menjalankan tugasnya? Yakin saja, tidak bisa dikatakan 100% bersih. Semua jabatan jika ditumpangi dengan kepentingan politik dan niat untuk menguntungkan secara pribadi sangatlah jauh untuk kualitas sebuah lembaga.
Nah, begitu juga pada pesta dermokrasi, banyak kepentingan yang meracuni pemilih dengan praktik politik uang. Sehingga untuk menemukan jejak pilkada dan pemimpin berkualitas masih menjadi tanda tanya besar.
Belum lagi, keberadaan parpol saat dinilai sebagai alat untuk mencari popularitas. Itu dibuktikan, dari sistem pengkaderan parpol yang tidak jalan. Buktinya lagi, jelang pelaksanaan pilkada, parpol nampak bingung untuk menentukan siapa yang akan dijagokan untuk menjadi pemimpin di daerah.
Bukankah melalui pengkaderan parpol, akan menciptakan seorang pemimpin di daerah? Justru yang terjadi harus merekrut beberapa kandidat bukan dari kader potensial untuk menjadi pemimpin masa depan. Lagi-lagi yang dilirik adalah kandidat yang mempunyai sembako untuk bertarung dengan cara “haram”.
Mari kita tengok persiapan pilkada di Kabupaten Bojonegoro Mulai dari munculnya sejumlah kandidat yang akan maju di pilkada, masyarakat mestinya sudah jeli untuk mengukur apakah mereka masuk dalam kategori pemimpin yang berkualitas.
Begitu juga dengan pihak penyelanggara, lembaga tersebut sudah seharusnya berada digaris terdepan untuk menciptakan pilkada berkualitas. Suksesi pelaksanaan pilkada memang tidak hanya dibebankan pada KPUD dan Bawaslu, melainkan banyak pihak yang harus saling mengisi dan memberikan kontrol sosial. Sementara, suara kritis masyarakat yang menyorot rekam jejak para calon kepala daerah maupun pihak penyelanggara, nyaris tak terdengar.
Para kandidat justru lebih “garang” saat menyampaikan visi misinya yang belum tentu dijalankan ketika terpilih dari hasil suara masyarakat. Bahkan yang terjadi, dengan mudahnya hak konstitusional pemilih dibayar untuk memilih.
Ancaman berikutnya adalah, rendahnya partisipasi pemilih. Selama pelaksanaan pilkada di daerah-daerah lainnya partisipasi belum pernah mencapai hasil masksimal. Rendahnya partisipasi juga menjadi tanggung jawab parpol dalam memberikan pendidikan politik.
Tidak salah memang, jika masyarakat menilai keberadaan parpol hanya sebatas pencapaian popularitas. Juga perlu dingat, demokrasi menjamin untuk mendapatkan hak-hak dasar sebagai masyarakat dan demokrasi juga menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat.
Parameter dalam berdemokrasi yaitu adanya kontrol atas keputusan pemerintah, adanya pemilih yang teliti dan jujur dan adanya hak memilih dan dipilih.
Opini : Agus Kuprit