Opini : “Wajah Seni Dan Budaya Sebagai Hak Konstitusi Umat Manusia”
Opini – Fluid Objects, ya itulah gambaran kehidupan manusia yang kental akan aktivitas seni dan budaya dimanapun manusia itu berada. Tak lain seperti “objek cair” yang selalu mengalir kemanapun takdir membawanya, bahkan ia pun bisa membuat arus yang deras sebagai aplikasi seni budaya dalam lingkungan yang mendukungnya.
Kata pembuka “fluid object” mengartikan bahwa seni dan budaya tak dapat dibatasi, dikebiri bahkan di musnahkan selama manusia masih hidup. Manusia akan cenderung membawa aliran seni, ide dan gagasannya serta apa yang ia anggap benar sebagai budaya yang ia anuti dalam sistem kehidupan yang kompleks ini.
Mensyukuri apa yang telah Tuhan fitrahkan sebagai makhluk yang berakal dan berprerasaan merupakan kewajiban kita sebagai umat manusia. Namun apakah hanya cukup mensyukuri? Memahami, mengembangkan dan memanfaatkan apa yang Tuhan berikan kepada kita dengan menuangkannya kedalam suatu bentuk karya yang terkonsepsi dalam sistem budaya juga merupakan kewajiban kita.
Artinya kebutuhan kita dalam berkesenian dan berbudaya merupakan kebutuhan dan hak dasar yang membutuhakan langkah untuk mengembangkannya.
Disinilah peran semua pihak termasuk pemerintah dan pelaku seni (seniman) serta budayawan dibutuhkan dalam menjunjung tinggi aktivitas seni budaya. Namun apakah semua pihak telah berperan sesuai kapasitasnya secara optimal?
Jaminan akan hak berkesenian dan berbudaya telah diatur dalam konstitusi Indonesia. “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya” begitu apa yang termaktub dalam pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini menekankan bahwa Negara sejak dulu telah hadir dalam menjamin hak dasar manusia dalam berbudaya.
Namun apa yang tersurat dalam pasal tersebut tak lain akan menjadi angan belaka apabila tak ada implementasi melalui langkah strategis pemerintah dalam menjamin, melindungi dan memfasilitasi hak asasi manusia dalam berbudaya dan bekesenian.
Kita dapat melihat hingga sekarang pemerintah belum mengesahkan Rancangan Undang-undang Kebudayaan. Disamping itu, kita juga belum mempunyai payung hukum tentang dunia ekonomi kreatif.
Pernyataan ini tak bermaksud untuk membicarakan lemahnya pemerintah dalam memikirkan sektor seni dan budaya, namun pernyataan ini dimaksudkan sebagai pendesak dan pendorong semata bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan di sektor seni dan budaya untuk segera merealisasikannya.
Dewasa ini, kita dapat mengelus dada dalam memandang hancurnya kesadaran pemuda dan anak-anak dalam mengembangkan seni dan budaya mereka. Bagaimana tidak, budaya bangsa yang seharusnya dikembangkan dan dimanfaatkan eksistensinya malah tak diurus dan lebih memperhatikan budaya barat dan korea sebagai implikasi dari derasnya globalisasi.
Namun saya tak memilih itu. Berdiam diri dan menangisi keadaan tak akan mewujudakan harapan, karena ini hanyalah sikap naif kita dalam melihat zaman. Perubahan akan terjadi jika kita mulai mengambil sikap dari diri sendiri.
Perhatikanlah budaya bangsa dan daerah, kembangakan potensi kesenian kita dengan harapan mampu memajukan ranah seni budaya bangsa dan daerah di kancah Internasional. Sehingga kita akan mendengar bahwa tarian saman yang memenangkan penghargaan World Unite Festival di Inggris menjadi kabar baik yang akan terulang kembali, di lain hari.
Harapan kita tak lupa dengan tragediillegal claim yang dilakukan oleh Malaysia terhadap budaya Indonesia. Ini salah satu pelajaran yang menampar wajah kita bahwa menjaga kesadaran dalam mengembangkan budaya daerah merupakan hal yang sangat penting.
Kita tak dapat melarang warga Negara Malaysia atau WNI yang tinggal di Malaysia untuk mematikan budaya Indonesia, karena kembali pada sifat dasar seni dan budaya itu sendiri yang bersifat cair. Sejalan apa yang dikemukakan John F. Keneedy (US President 1961-1963) If art is to nourish the roots of our culture, society must set the artist free to follow his vision wherever it takes him.
Langkah satu-satunya kita adalah menjamin sebaik-baiknya seni dan budaya serta aktivitas yang terkandung didalamanya baik oleh pemerintah, pelaku seni budaya dan masyarakat dari bangsa luar yang akan menikam identitas kita karena itu adalah hak dasar kita sebagai warga Negara Indonesia.
Budaya pada asasnya mengandung nilai-nilai yang luhur yang yang dianuti dan dianggap benar sebagai bentuk karya manusia. Dengan begini seni dan budaya yang kita miliki merupakan hak konstitusi umat manusia dalam berperikehidupan berbangsa dan bernergara.
Merupakan keharusan bagi tiap-tiap elemen masyarakat dalam melindungi, mengembangkan dan memanfaat seni dan budaya bangsa.
Melihat rekam jejak pendidikan di bangku sekolah, sedikit banyak akan membuat kita geram terhadap kurikulum pendidikan yang terkadang tak proposional dalam mengawal dunia pendidikan hingga saat ini. Bagiamana tidak pendidikan kita tentang seni budaya hanya segelintir jam yang dialokasikan untuk pelajar.
Ditambah lagi adanya stratifikasi mata pelajaran di bangku sekolah seakan-akan lebih mengutamakan pelajaran eksakta (ilmu pasti) daripada ilmu humaniora seperti sastra, seni dan budaya. Jika memang kita ingin mencetak generasi muda yang cinta akan budayanya mengapa pelajaran seni budaya tak secara instensif dan aplikatif dalam mengajarkan pentingnya budaya sebagi identitas bangsa?
Jika kita ingin anak didik bangsa cakap dalam berkesenian dan meraup nilai ekonomi dalamnya mengapa tak plotkan kelas khusus di bidang industri dan ekonomi kreatif di bangku sekolah? Mungkin ini merupakan hal yang konyol, tapi saya yakin hal ini akan menjadi perhitungan stategis bagi bangsa dalam mengawal pelajar Indoensia untuk bersaing di ranah MEA (ASEAN Economic Community).
Kita dapat melihat uniknya bangsa New Zealand yang membuka kelas Seni Gamelan bagi para pengamat dan penggemar budaya Indonesia. Kita juga dapat melihat Amerika, Kanada dan Vietnam yang mengajarkan bahasa Indonesia yang notabenenya merupakan budaya nasional. Namun mengapa pemerintah tak tertarik untuk merancang seni dan budaya sebagai mata kuliah umum di tiap institusi pendidikan dengan alokasi 2 SKS saja? Mungkin inilah yang kita sebut sebagai krisis kesadaran, yang akan membunuh bangsa perlahan-lahan.
Sadarkah kita jika kita semua telah banyak diberikan self awereness terhadap seni dan budaya kita sebagai hak konstitusi yang perlu kita jaga dan pelihara, sudah berapa banyak dari kita yang mampu meraup keuntungan dengan memanfaatkan aspek ekonomi yang terkandung didalamnya. Minimnya apresiasi, pengakuan dan kesadaran terhadap eksistensi ini tekadang menghambat perkembangan potensi diri dalam berkesenian dan berbudaya.
Jangan disalahkan bahwa hal ini akan berimplikasi atas bedirinya stigma bahwa “seniman dan budayawan tak menjamin hidup sejahtera dan mapan”. Sehingga tak heran jika mayoritas orang tua sejak dini lebih sering mengajarkan rumus matematika di banding mengajak belajar di museum atau galeri seni. Hal ini wajar, Karena ada sesuatu yang dianggap dan diakui lebih dibanding yang lain.
Inilah yang kita sebut sebeagai teori startifikasi social, yang dianalaogikan dalam pembahasan ini. Sebelum kita mencapai antiklimaks dalam tulisan ini ada baiknya mengungkap apa yang dikatakan oleh Pablo Picasso (Spain Artist) bahwa Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up.
Memahami potensi diri demi merangkai kualitas insan yang dapat mempertahanakn eksistensi seni budaya bangsa adalah hal yang mutlak diperlukan saati ini. Dunia seni dan budaya merupakan hak dasar tiap umat yang harus dijamin, dikembangkan dan difasilitasi eksistensinya. Karena tanpa seni dan budaya berarti tak ada peradaban yang mampu diwariskan kepada anak cucu bangsa. Seni dan budayalah yang mampu mengantarkan kita memahami, menciptakan dan memuliakan sesuatu. Dalam menyongsong Hari Seni Dunia (World Art Day) 15 April Mendatang, semoga kita mampu mengembangkan potensi diri, bangsa dan daerah dalam dinamika seni budaya global.
WILLY INNOCENTI
Anggota Awan Merah (Lembaga Semi Otonom Kesenian Mahasiswa Hukum Unesa) dan Aktivis Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Surabaya.
(Arianto)