Dari Perintis HIPPA hingga Buruh Serabutan, Kisah Pilu Wajidan

Tuban – Niat mulia untuk membantu sesama justru membawa kisah pilu bagi Wajidan, warga Desa Magersari, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban. Di usia lanjut, ia harus menerima kenyataan pahit setelah Hippa HMJ (HIPPA Muslim Jidan) yang ia bangun dengan jerih payah pribadi kini beralih pengelolaan ke pemerintah desa.
HIPPA tersebut dirintis Wajidan secara mandiri sejak awal. Seluruh pembiayaan pembangunan berasal dari uang pribadinya, bahkan sebagian didapat dari pinjaman bank yang hingga kini masih menjadi tanggungan. Tujuan pendirian HIPPA itu sederhana namun sarat nilai kemanusiaan, yakni menyediakan pengairan bagi sawah petani sekitar agar mereka dapat bertani dengan layak, sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi dirinya.
Selama bertahun-tahun, sistem pengairan tersebut memberi manfaat besar bagi lahan pertanian warga. Namun perjalanan panjang yang dibangun atas dasar niat baik itu berujung pada persoalan yang menyisakan luka mendalam. Beberapa tahun berselang, HIPPA yang ia rintis diambil alih oleh pemerintah desa.
Menurut pengakuan Wajidan, proses pengambilalihan tersebut dinilainya tidak mencerminkan etika dan rasa keadilan. Dalam sebuah rapat bersama pihak desa, disepakati sejumlah klausul perjanjian. Salah satunya adalah kewajiban kontribusi Pendapatan Asli Desa (PADes) yang semula ditetapkan sebesar Rp30 juta per tahun, kemudian setelah melalui negosiasi disepakati menjadi Rp10 juta per tahun.
Masalah muncul dari klausul lain yang baru disadarinya belakangan. Dalam perjanjian tersebut tercantum bahwa seluruh aset HIPPA harus diserahkan kepada desa. Wajidan mengaku tidak memahami sepenuhnya isi kesepakatan itu. Faktor usia serta keterbatasan ketelitian membuatnya tidak menyadari konsekuensi besar dari klausul tersebut.
“Kula mboten ngertos menawi sedaya aset kedah dipunserahaken. Kula sampun yuswa, kirang tlatos, lan rumaos kejebak,” ujar Wajidan lirih dengan mata berkaca-kaca saat ditemui, Minggu (14/12/2025).
“Saya tidak tahu kalau semua aset harus diserahkan. Saya sudah tua, kurang teliti, dan merasa terjebak,” lanjutnya.
Ironisnya, hingga kini pinjaman bank yang digunakan sebagai modal perintisan HIPPA masih harus ia tanggung sendiri. Sementara itu, usaha beserta seluruh aset HIPPA telah sepenuhnya dikelola oleh desa. Wajidan pun mengaku tidak pernah menerima pembagian hasil dari usaha tersebut.
Lebih menyakitkan lagi, sawah milik pribadinya kini justru tidak lagi mendapatkan aliran air dari sistem pengairan yang dahulu ia bangun sendiri.
“Menapa malih kagem kasil, sabin kula mawon samenika mboten dipun ileni toya,” tuturnya.
“Jangankan bagi hasil, sawah saya saja sekarang tidak dialiri air,” tambahnya sambil menyeka air mata.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Wajidan kini bekerja serabutan sebagai buruh tani, mulai dari mencangkul hingga menjadi operator traktor di sawah milik orang lain. Tangan yang dahulu membangun sistem pengairan bagi banyak petani, kini hanya mengandalkan upah harian yang pas-pasan, sementara beban utang masih terus menghimpit kehidupannya.
Kisah yang dialami Wajidan bukan semata persoalan aset atau perjanjian tertulis, tetapi menyangkut rasa keadilan yang dirasakannya hilang. Seorang perintis yang berangkat dari niat tulus untuk kepentingan bersama, kini harus menanggung beban berat tanpa kejelasan perlindungan.
Ia berharap masih ada ruang bagi kebijaksanaan dan kepedulian dari pihak-pihak terkait agar persoalan ini dapat diselesaikan secara adil dan manusiawi.
“Semoga Pak Bupati dan APH Tuban ada perhatian,” ucapnya
Oleh – Mursid