Tuban – Senja menggantung pelan di langit Desa Jegulo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban. Cahaya jingga merambat di di jalan yang basah, mengantar setiap langkah menuju sebuah gerbang yang tak sekadar menjadi penanda wilayah. Di sana, dua macan putih berdiri saling berhadapan—diam, namun berbicara banyak.

Macan putih bukan sekadar simbol kekuatan. Dalam ingatan budaya Jawa, ia adalah penjaga—penyimpan wibawa, keberanian, sekaligus kebijaksanaan. Warna putih yang melekat padanya menandai niat yang bersih, keteguhan yang tak gaduh, dan kekuatan yang tak harus berteriak untuk didengar.

Dua sosok macan yang saling menatap itu seolah mengajarkan keseimbangan. Bahwa kekuatan sejati tidak lahir dari satu arah, melainkan dari persatuan. Dari warga yang saling menjaga, dari nilai yang dirawat bersama, dan dari adat yang tak ditinggalkan meski zaman terus melaju.

Gerbang itu menjadi lebih dari batas geografis. Ia adalah pengingat. Setiap orang yang melintas seakan diajak menundukkan sikap, menghormati ruang, dan memahami bahwa Desa Jegulo berdiri bukan hanya di atas tanah, tetapi di atas nilai dan sejarah.

Di bawah tatapan macan putih, Jegulo meneguhkan dirinya. Sebuah desa yang memilih menjaga jati diri—kokoh, berani, dan tetap bersahaja—seraya menyerahkan estafet nilai kepada generasi yang akan datang.

M. Mursid efendik