MENGHUJAT PENYELAMAT, MENJILAT PENGKHIANAT
Bangsa Indonesia seringkali abai pada hal paling mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Siapa yang benar-benar menjaga agar rumah besar bernama Indonesia tetap berdiri kokoh ketika badai datang.
Tragedi Agustus 2025 adalah salah satu ujian paling berat, di mana riak yang dipancarkan hampir berubah menjadi gelombang besar yang dapat mengguncang legitimasi pemerintahan Presiden Prabowo dan merusak sendi-sendi stabilitas nasional.
Pada saat krusial itulah Polri berdiri di garis depan, membendung arus kekacauan, menjaga agar api kemarahan tidak membakar habis fondasi negara, dan memastikan pemerintahan tetap berjalan tanpa kehilangan kendali.
Namun ironisnya, bangsa ini justru melupakannya dan memilih narasi sempit yang mereduksi peran Polri menjadi sekadar “gagal” dikarenakan ada nyawa melayang.
Tidak ada yang menafikan, tewasnya seorang pengemudi ojek online adalah luka. Sebuah tragedi yang memang tidak seharusnya terjadi. Tetapi apakah sebuah institusi yang menahan keruntuhan negara layak dihakimi hanya dari satu titik peristiwa, sementara ratusan titik berhasil dalam meredam amuk massa diabaikan begitu saja?
Apakah adil jika mengorbankan ribuan anggota Polri yang berjaga siang-malam, yang menghadang provokator hingga mempertaruhkan nyawa, disapu bersih oleh satu narasi bahwa mereka gagal? Di tengah kompleksitas tragedi yang melibatkan dugaan intervensi pihak eksternal, Polri justru dijadikan kambing hitam seolah-olah mereka penyebab, bukan penyelamat.
Lebih menyakitkan lagi, alih-alih mengucapkan terima kasih, justru muncul tuntutan politik yang ingin mengganti Kapolri, bahkan wacana “reformasi Polri” yang berpotensi menempatkan kepolisian di bawah kementerian tertentu.
Ini berpotensi bahaya. Sebab sejarah sudah membuktikan, Polri yang dikungkung di bawah kementerian adalah Polri yang kehilangan independensinya, yang tidak lagi bisa berdiri tegak sebagai pengayom masyarakat, melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan politik.
Mereka yang melontarkan wacana tersebut lupa bahwa stabilitas yang mereka nikmati hari ini, pasca tragedi Agustus 2025, berdiri di atas keringat dan darah institusi yang mereka hina.
Bangsa ini perlu berpikir: kepada siapa kita berterima kasih ketika riak tidak menjelma menjadi gelombang besar yang merobohkan pemerintahan sah? Kepada siapa kita berterima kasih ketika keamanan nasional tetap terjaga di tengah hasutan yang berusaha memecah belah? Jawabannya jelas: Polri.
Maka jika bangsa ini memilih mengabaikan pengorbanan itu, bukan hanya Polri yang dilecehkan, melainkan juga martabat negara yang dipertaruhkan. Sudah saatnya Indonesia bersikap jujur pada sejarahnya sendiri. Polri bukan kambing hitam, melainkan perisai terdepan yang memastikan republik ini tetap berdiri.
Maka izinkan satu pertanyaan terakhir menggema di ruang batin bangsa ini: apa jadinya Indonesia tanpa Polri di garis terdepan tragedi Agustus 2025? Apakah pemerintahan Prabowo akan tetap tegak, atau malah runtuh karena provokasi? Apakah rakyat akan bisa kembali bekerja dengan tenang, atau malah terjebak dalam ketakutan tanpa ujung?
Sejarah sudah menjawabnya dengan jelas. Indonesia selamat karena Polri berdiri. Jika bangsa ini menutup mata, menolak memberi apresiasi, dan justru menekan Polri dengan berbagai tuntutan, maka bangsa ini sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri.
Kita terlalu murah hati memberi panggung kepada provokator, tapi terlalu pelit memberi hormat kepada penjaga republik. Sudah waktunya bangsa ini berterima kasih, karena tanpa Polri, mungkin yang tersisa hari ini hanyalah puing-puing kehancuran dan ketakutan.
Jakarta, 18 September 2025*
*R. Haidar Alwi*
*Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)